Ada Ratusan Situs, Penanggungan Layak Mendunia fadjar April 14, 2016

Ada Ratusan Situs, Penanggungan Layak Mendunia

Ratusan situs telah ditemukan di seputar Gunung Penanggungan yang terletak di Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan. Dengan adanya temuan itu, beberapa arkeolog mengusulkan agar Gunung Penanggungan menjadi situs warisan dunia karena kekayaan dan keunikan situs-situs yang ada di gunung itu.
“Harapannya bisa diusulkan jadi warisan dunia,’ kata arkeolog yang juga anggota Tim Ekspedisi Universitas Surabaya (Ubaya) Ismail Luthfi, Rabu (6/4).
Arkeolog asing maupun dalam negeri telah menemukan ratusan situs di gunung yang berada di Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan itu. Baik berupa candi, punden berundak, gapura, goa, dan terakhir ditemukan adalah jalur atau jalan pendakian kuno.
Gunung Penanggungan telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Provinsi sejak 14 Januari 2015.
‘Kami sedang berjuang jadi cagar budaya tingkat nasional” ujar Luthfi.
Luthfi mengatakan sejak ekspedisi yang dimulai 2012 sampai awal 2016, para arkeolog telah menemukan 134 situs.
‘Itu baru di zona A atau di bagian atas gunung. Kalau sampai ke bawah bisa sampai 300-an situs,’ ujarnya.
Untuk jadi situs warisan dunia, kata Luthfi, sebuah situs harus memenuhi syarat tertentu. Salah satunya adalah adanya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya situs atau cagar budaya. Masyarakat harus paham bahwa di Penanggungan tidak hanya ada benda atau tangible, aset berwujud benda tapi juga intangible.
“Termasuk keseniaannya dan kehidupan masyarakat.’
Sementara itu, Ketua Tim Ekspedisi Ubaya Kusworo Rahadyan meminta pemerintah meningkatkan perlindungan pada berbagai situs di Penanggungan. Berdasarkan foto lama dan foto baru, diketahui bahwa banyak situs yang sudah berubah atau rusak. “Bahkan ada bagian yang hilang,’ kata Kusworo Rahadyan.
Komentar senada disampaikan Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Andi Muhammad Said. Ia mengatakan kerusakan dan hilangnya beberapa bagian dari situs-situs di Penanggungan selama ini menjadi masalah.
‘Karena luasnya wilayah dan tenaga pengaman yang sedikit, kami sulit menangani secara cepat. Sehingga, diperlukan sosialisasi pentingnya keberadaan cagar budaya,” ujar Andi.
Pengamanan dan perlindungan situs-situs di Penanggungan memang sulit karena letaknya di lereng gunung dan dalam wilayah yang luas. Penanggungan yang dulu disebut dengan Gunung Pawitra dalam sejumlah kitab kuno Jawa sebagai tempat pertapaan para resi. Pawitra dianggap sakral karena dipercaya sebagai puncak Gunung Mahameru yang dipindah dari India ke Jawa. Situs-situs itu diperkirakan sudah ada sejak abad X sebagaimana temuan inskripsi angka tahun saka pada prasasti tertua yang pernah ditemukan di Penanggungan.
Jalur Kuno
Tim Ekspedisi Universitas Surabaya (Ubaya) menemukan jalur pendakian kuno di Gunung Penanggungan, Kabupaten Mojokerto. Temuan tersebut dipaparkan di hadapan pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan sebagai instansi berwenang di bidang kepurbakalaan dan cagar budaya di Jawa Timur.
‘Setelah Gunung Penanggungan terbakar pada Agustus sampai Oktober 2015, kami menerjunkan tim dan menggunakan kamera drone untuk merekam kondisi Penanggungan dari atas,’ kata arkeolog yang juga salah satu anggota Tim Ekspedisi Ubaya Ismail Luthfi di Kampus 3 Ubaya Training Center (UTC), Desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Rabu (30/3).
Dari rekaman kamera drone yang diambil 4 November 2015 lalu tampak terlihat dua jenis jalur atau jalan pendakian kuno berupa jalan makadam yang dibuat dari tumpukan batu. Ada dua lapis jalan yang berbentuk memutar atau melingkar di bagian bawah dan atas gunung.
‘Selain itu juga ada yang berbentuk zig zag yang menghubungkan dua lapis jalan yang melingkar tadi,’ tutur arkeolog yang akrab disapa Luthfi ini.
Tim ekspedisi juga mencoba berjalan di jalur pendakian kuno tersebut. ‘Lebarnya 1,5 sampai 2 meter sedangkan panjangnya belum kami hitung karena belum selesai menelusurinya,’ kata Luthfi.
Menurut dia, jalur model memutar atau melingkar dan zig zag itu diduga sengaja dibuat agar aman. ‘Jalan seperti ini aman dan tidak melelahkan karena tidak lurus menanjak,’ katanya.
Tim Ekspedisi Ubaya sebenarnya sudah lama menduga ada jalur-jalur kuno tersebut namun baru kali ini terlihat jelas sebab lahan terbuka setelah terbakar. ‘Sebenarnya sudah lama kami menduga namun baru kali ini diambil gambarnya dari atas dan tampak jelas,’ kata Ketua Tim Ekspedisi Ubaya Kusworo Rahadyan.
Kusworo mengatakan jalur pendakian kuno itu berbeda dengan jalur pendakian yang selama ini digunakan oleh para pendaki. Jalur yang digunakan pendaki cenderung lurus menanjak dan tidak melingkar maupun zig zag. ‘Bahkan jalur yang selama ini digunakan pendaki itu memotong jalur pendakian kuno,’ katanya.
Kepala BPCB Trowulan Andi Muhammad Said mengapresiasi temuan Tim Ekspedisi Ubaya tersebut. ‘Nanti kami tindak lanjuti langkah pelestariannya,’ katanya.
Said mengatakan temuan berupa jalur pendakian kuno itu merupakan bagian dari kearifan lokal orang zaman dulu. Menurut dia, ketimbang membuat jalan baru lebih baik menggunakan jalur kuno tersebut. ‘Itu salah satu cara menghadapi medan supaya tidak berat, itu seharusnya yang kita pakai sekarang,’ tutur arkeolog yang juga pernah meneliti situs-situs di Penanggungan ini.
Tim Ekspedisi Ubaya melakukan ekspedisi sejak 2012 dan hingga awal tahun 2016 sudah menemukan 134 situs baru yang sebelumnya terpendam di antaranya goa, candi, prasasti, arca, dan yang terbaru adalah jalur pendakian kuno. (tem/tit)
Sumber: https://www.beritametro.co.id/
Pro Kontra Publikasi Jalur Kuno Pendakian Gunung Penanggungan
Mojokerto (beritajatim.com) – Publikasi jalur kuno pendakian Gunung Penanggungan oleh Tim Ekspedisi Universitas Surabaya (Ubaya) beberapa waktu menuai pro dan kontra. Aktivis pencinta alam menilai jika mereka telah lama mengetahui jalur pendakian kuno di Gunung Penanggungan tersebut, namun tak ingin terjadi penjarahan situs sehingga tidak dipublikasikan.
‘Sejak saya kelas 4 SD saya sudah naik Penanggungan dan tahu jalur kuno itu. Warga dan para relawan yang peduli dengan kelestarian alam dan situs-situs purbakala yang ada di Penanggungan selama ini sengaja tidak mengekspose keberadaan jalur kuno tersebut karena kami khawatir jika dipublikasikan penjarahan situs akan semakin marak,’ ungkap aktivis Save Pawitra, Yahya Setianto, Kamis (7/4/2016).
Yahya yang juga pengelola pintu pendakian Penanggungan di Desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto ini mengaku, tidak sepakat jika yang menemukan jalur pendakian kuno di Gunung Penanggungan tersebut adalah Tim Ekspedisi Ubaya. Menurutnya, pihaknya justru yang memberitahu dan ikut mengantarkan Tim Ekspedisi Ubaya untuk menelusuri jalur pendakian kuno tersebut.
‘Karena sudah terlanjur dipublikasi, kita berharap ada langkah perlindungan yang lebih konkrit dari pihak berwenang terutama BPCB Trowulan sebagai instansi yang bertanggung jawab atas pelestarian cagar budaya di Jawa Timur. Apalagi Gubernur Jawa Timur Soekarwo melalui SK Gubernur Jawa Timur Nomor 188/18/KPTS/013/2015 tanggal 14 Januari 2015 telah menetapkan Penanggungan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Provinsi,’ katanya.
Ketua Tim Ekspedisi Ubaya, Kusworo Rahadyan mengakui jika selama ini timnya sangat dibantu juru pelihara situs, warga dan relawan dalam menelusuri dan mendata situs-situs yang selama ini belum terdata termasuk jalur kuno. ‘Jalur kuno itu sebenarnya sudah tergambar dalam peta survei terbitan Belanda tahun 1951 oleh Van Romondt. Kami hanya mendokumentasikan ulang dengan kamera drone,’ ujarnya.
Kusworo mengakui ada pihak yang pro dan kontra atas publikasi jalur kuno itu karena khawatir penjarahan situs semakin marak. Namun menurutnya terlepas apakah sudah dipublikasikan atau tidak, pemerintah wajib meningkatkan perlindungan situs-situs di Gunung Penanggungan yang selama ini masih lemah karena sulitnya medan menuju puncak gunung yang disucikan umat Hindu tersebut.
‘Sudah saatnya masyarakat tahu potensi sumber daya arkeologi yang ada di Gunung Penanggungan agar ada langkah konkrit penyelamatan. SK Gubernur tersebut, tidak akan berarti tanpa peran serta semua pihak yang peduli pada pelestarian cagar budaya,’ lanjutnya.
Sementara itu, Kepala Badan Penyelamatan Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur di Trowulan, Andi Muhammad Said mengakui penjarahan situs di Gunung Penanggungan selama ini jadi masalah. ‘Juru pelihara situs yang bertugas di Penanggungan jumlahnya sangat terbatas untuk menjangkau luasnya medan yang sulit karena berada di lereng gunung sehingga tidak bisa menangani secara cepat. Bukannya kami membiarkan, kami terus sosialisasi pentingnya cagar budaya,’ tegasnya.
Jalur kuno itu berupa jalan makadam dari tumpukan batu dengan lebar 1,5-2 meter dan panjang ribuan meter. Jalur tersebut ada yang melingkar atau memutari badan gunung. Selain itu juga ada jalur zigzag dari bawah hingga menuju puncak. Jalur itu diduga dibuat sejak dulu untuk memudahkan masyarakat yang melakukan ritual pemujaan atau pertapaan. Sebab Penanggungan yang dulu bernama Pawitra, oleh masyarakat Hindu dianggap gunung suci dan puncak dari Gunung Mahameru yang dipindah dari India ke Jawa. [tin/kun]
Sumber: https://beritajatim.com/
Klaim Temuan Jalur Kuno Penanggungan oleh Tim Ubaya Diprotes
TEMPO.CO, Mojokerto – Publikasi jalur kuno pendakian Gunung Penanggungan oleh Tim Ekspedisi Universitas Surabaya (Ubaya) menuai kontroversi. Ada pihak yang pro, ada juga yang kontra dengan publikasi tersebut.
Salah satu warga, yang juga aktivis pecinta alam di Gunung Penanggungan, Yahya Setianto, mengatakan warga sebenarnya sudah lama tahu mengenai jalur kuno tersebut. ‘Sejak kelas 4 SD, saya sudah naik (Gunung) Penanggungan dan tahu jalur kuno itu,’ kata Yahya saat dihubungi, Kamis, 7 April 2016.
Jalur kuno itu berupa jalan makadam dari tumpukan batu dengan lebar 1,5-2 meter dan panjang ribuan meter. Jalur tersebut ada yang melingkar atau mengitari badan gunung, ada juga yang zigzag, dari bawah ke puncak. Jalur itu diduga dibuat sejak dulu untuk memudahkan masyarakat yang hendak melakukan ritual pemujaan atau pertapaan. Sebab, Penanggungan, yang dulu bernama Pawitra, oleh masyarakat Hindu dianggap gunung suci. Gunung itu juga diyakini sebagai puncak dari Gunung Mahameru yang dipindah dari India ke Jawa.
Yahya mengatakan warga dan para relawan yang peduli tgerhadap kelestarian alam dan situs-situs purbakala di Penanggungan selama ini sengaja tidak mengekspose keberadaan jalur kuno itu. ‘Kami khawatir penjarahan situs akan semakin marak,’ ujar Yahya, yang juga aktivis Save Pawitra dan pengelola pintu pendakian Penanggungan di Desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto.
Yahya tak sepakat jika penemu jalur tersebut adalah Tim Ekspedisi Ubaya. ‘Malah kami yang memberi tahu dan ikut mengantarkan mereka,’ ucapnya. Tak hanya menelusuri jalur kuno, juru pelihara situs, warga, dan relawan, yang lebih tahu medan, juga sangat membantu Tim Ekspedisi Ubaya menemukan situs-situs yang selama ini belum terdata karena tertutup vegetasi alam.
Karena sudah telanjur dipublikasi, Yahya berharap ada langkah perlindungan yang lebih konkret dari pihak berwenang, terutama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan sebagai instansi yang bertanggung jawab atas pelestarian cagar budaya di Jawa Timur. Apalagi Gubernur Jawa Timur Soekarwo, melalui SK Gubernur Jawa Timur Nomor 188/18/KPTS/013/2015 tanggal 14 Januari 2015, telah menetapkan Penanggungan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Provinsi.
Ketua Tim Ekspedisi Ubaya, Kusworo Rahadyan, mengakui selama ini timnya dibantu juru pelihara situs, warga, dan relawan untuk menelusuri dan mendata situs-situs yang selama ini belum terdata, termasuk jalur kuno. ‘Jalur kuno itu sebenarnya sudah tergambar dalam peta survei terbitan Belanda 1951 oleh Van Romondt. Kami hanya mendokumentasikan ulang dengan kamera drone,’ ujarnya.
Ia mengaku ada pihak yang pro, ada pula yang kontra, atas publikasi jalur kuno itu karena khawatir penjarahan situs semakin marak. Namun, menurut dia, terlepas apakah sudah dipublikasikan atau belum, pemerintah wajib meningkatkan perlindungan situs-situs di Penanggungan, yang selama ini masih lemah karena medan yang sulit. ‘Sudah saatnya masyarakat tahu potensi sumber daya arkeologi di Penanggungan agar ada langkah konkret penyelamatan,’ katanya. Bagi dia, SK Gubernur tak akan berarti tanpa peran serta semua pihak yang peduli terhadap pelestarian cagar budaya.
Kepala BPCB Trowulan Andi Muhammad Said mengakui penjarahan situs di Penanggungan selama ini jadi masalah. Ia beralasan juru pelihara situs yang bertugas di Penanggungan jumlahnya sangat terbatas. Padahal jangkauannya luas dan medannya sulit karena berada di lereng gunung. ‘Jumlah juru pelihara kami terbatas sehingga tidak bisa menangani secara cepat. Bukannya kami membiarkan, kami terus sosialisasi pentingnya cagar budaya,’ katanya.
ISHOMUDDIN
Sumber: https://m.tempo.co